Kamis, 25 Agustus 2011

MENGIJAZAH MURID

MENGIJAZAHKAN KEMBALI ILMU GHOIB PUTIH


Assalamualaikum. Salam Budi Suharna.
 
Mau tanya : setelah saya dapat ijazah dari Ki Syah  (menjadi Pewaris), bolehkah saya mewariskan kembali semua ilmu yang ada di blog ini? Ataukah hanya ilmu yang dikirim lewat paket email saja yang boleh saya wariskan? Dan boleh tidak mewariskan ilmu tanpa pernah kita mengamalkannya terlebih dahulu??
(Diposting di Forum halaman IJAZAH ILMU)

Jawab :

Wa alaikum salam wrwb
Setiap Pewaris berhak atas semua keilmuan Ilmu Ghoib Putih. Dan memiliki wewenang diperbolehkan mengijazahkan ilmu dari Ilmu Ghoib Putih ini kepada orang lain. Tetapi saya tetap menyarankan bila Pewaris hendak mengijazahkan ilmu kepada orang lain maka ijazahkan terlebih dulu ilmu-ilmu yang pernah diamalkan.

Memberi ijazah berarti siap untuk membimbing juga. Oleh sebab itu ijazahkan amalan-amalan yang pernah anda amalkan saja dulu. Setidaknya dengan pernah mengamalkannya anda tahu dan pernah merasakan sendiri segala apa yang terjadi dengan amalan tersebut. Dari pengalaman itu anda bisa membimbing murid dan orang yang diberi ijazah ilmu.

Selanjutnya, jangan mengijazahkan amalan-amalan yang pernah anda rasakan memberi efek tidak baik. Itu tanda penguasaan ilmu anda belum sempurna atau memang ilmu tersebut tidak berjodoh dengan diri anda.

Saya pernah mengamalkan berbagai macam ilmu, tetapi tidak semua ilmu itu saya ijazahkan kepada para Pewaris. Sebab saya pernah merasakan efek konsekuensi ghaib yang tidak bagus selama mengamalkan ilmu tersebut. Sebagai solusinya bila ada orang yang meminta ilmu tersebut maka saya sarankan untuk berguru kepada orang lain yang lebih menguasainya. Kita tidak usah sok tahu ataupun sok bisa (merasa paling bisa). Sebagai spiritualis, kejujuran & mawas diri itu penting.

Contoh kasus : Misal ada orang yang meminta Ilmu pengasihan, sementara anda tidak ahli dalam ilmu ini, maka sebaiknya arahkan orang tersebut untuk berguru kepada Guru lain yang lebih ahli dalam bidang ilmu Pengasihan.

Pernah suatu ketika ada sedulur yang meminta ilmu Asma Singa Rajeh Kubro. Walaupun saya tahu lafadz Asma tersebut, namun saya belum pernah mengamalkannya, jadi saya rekomendasikan untuk berguru kepada salahsatu sesepuh KWA yang saya tahu pernah mengijazahkan ilmu tersebut.

Selama pengembaraan saya, jarang sekali ada Guru yang bisa menguasai berbagai cabang ilmu hikmah dengan sempurna sekaligus. Biasanya mereka memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Ada yang ahli dibidang Pengobatan, ahli Olah kanuragan, ahli bidang Pengasihan, Kerejekian, Kewaskitaan dan lain sebagainya.
Tidak menutup kemungkinkan bahwa diantara Pewaris nantinya juga akan menemukan keahliannya sendiri-sendiri.
Jadi jangan buru-buru menjadi seorang pengijazah ilmu hikmah. Lebih baik fokus pada penempaan diri pribadi hingga matang daripada menjadi guru pengijazah tetapi seperti “tong kosong nyaring bunyinya”.

Kelak bila telah melangkah di level Master barulah boleh bebas mengijazahkan ilmu apapun. Seperti para Guru Sejati, Mursyid, Nabi, Rasul, Wali, Syekh mereka ada di tingkat master. Tingkatan seorang spiritualis yang telah dapat mengerti keadaan diri setiap muridnya, sehingga setiap amalan yang mereka ijazahkan hampir 99% selalu tepat dengan diri sang murid. Tidak ada kotradiksi dan tidak ada konsekuensi negatif, intinya amalan ilmu cocok dan selaras dengan diri sang murid. Walaupun para Guru Sejati tersebut belum pernah mengamalkannya, sebab ilmu hikmah yang diijazahkan biasanya merupakan petunjuk dari Tuhan YME. Untuk mengerti hal ini membutuhkan proses perjalanan ruhani. Cepat atau lambat? hanya Tuhan yang tahu. Tetapi barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam perjalanan spiritualnya niscaya kelak ia akan memetik hasil dari kesungguhannya itu.

Setidaknya syarat sebagai seorang Guru ilmu hikmah adalah orang yang telah terbuka hijab dirinya. Artinya telah mengenal jatidirinya sendiri (Ingsun Sejati), sehingga terlihat jelas pondasi hidupnya yang mantap dan mapan. Fundamental hidupnya kuat tidak mudah goyah atau tidak mudah terbuai oleh pengaruh argumentasi orang lain (refleksi ingsun sejati berbeda dengan sifat keraskepala). Keyakinannya terhadap suatu hal dipegang erat, walaupun orang lain menghujat atau menghinanya. Bahkan rela sampai mati!

Salah satu mendiang guru kami, sampai akhir hayat tetap merelakan dirinya dipanggil paranormal (shaman) atau dukun. Beliau enggan mengganti nama/gelar yang sok agamis ataupun memoles ilmunya dengan istilah-istilah Islami. Ia tidak terpancing oleh ucapan orang lain yang mengecapnya sesat, pelaku bid’ah, klenik atau cibiran sinis lainnya. Karena pada kenyataannya beliau mengakui memang pelaku ilmu magis. Namun beliau pernah berkata, “biarkanlah kata orang, sejatinya yang tahu kebenaran tentang diriku hanyalah aku dan Gusti Allah saja.”

Lihatlah sosok almarhum Mbah Marijan, yang dikenal masyarakat sebagai sang juru kunci Gunung Merapi Jogjakarta yang tetap kukuh dalam memegang prinsip dan apa yang diyakininya sampai mati. Lihatlah sosok para Nabi dan rasul yang rela mati demi mempertahankan apa yang diyakininya. Mereka adalah tipe sosok para guru yang telah menemukan jatidirinya, pondasi hidupnya kuat, setia dengan apa yang sudah diyakininya. Dari sosok seperti mereka, guru yang dapat ditimba kedalaman ilmu hikmahnya.

Dari pengenalan jati diri itulah nanti akan dapat mengenal orang lain & alam dengan pandangan yang lebih objektif. Lalu bisa menilai dan memberi ijazah ilmu yang tepat sesuai dengan kondisi orang tersebut. Begitulah analogikanya.

Jadi untuk menjadi seorang Guru tidak harus mutlak mengerti dunia ghaib, bisa trawangan atau meraga sukma dan semacamnya. Tetapi harus mengerti jatidirinya dan mengerti (menguasai) tentang ilmu yang hendak diiijazahkan.
Semoga bermanfaat.
Nuwun,

              ttd
   Ki Syah Rizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar